Masalah Hak Asasi Manusia (HAM) secara jelas diatur dalam UUD 1945 yang diamandemen. Tapi, bukan berarti sebelum itu UUD 1945 tidak memuat masalah HAM. Hak asasi yang diatur saat itu antara lain hak tentang merdeka disebut pada bagian pembukaan, alinea kesatu. Kemudian, hak berserikat diatur dalam pasal 28, haka memeluk agama pada pasal 29, hak membela negara pada pasal 30, dan hak mendapat pendidikan, terdapat pada pasal 31.
Dalam UUD 1945 yang diamandemen, HAM secara khusus diatur dalam Bab XA, mulai pasal 28 A sampai dengan pasal 28 J.
Pasal 28 A : Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Pasal 28 B : (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 28 C : (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dan ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.
Pasal 28 D : (1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. (3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan. (4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.
Pasal 28 E : (1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta hendak kembali. (2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuruninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
Pasal 28F
Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia. **)
Pasal 28G
(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang dibawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. **)
(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain. **)
Pasal 28H
(1)Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
medapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. **)
(2) Setiap orang mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan. **)
(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. **)
(4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenangwenang oleh siapa pun. **)
Pasal 28I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. **)
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu. **)
(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban. **)
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah. **)
(5) Untuk menegakan dan melindungi hak assi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundanganundangan. **)
Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. **)
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilainilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. **)
PELAKSANAAN HAM DI INDONESIA
Pelaksanaan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia baru pada tahap
kebijakan belum menjadi bagian dari sendi-sendi dasar kehidupan
berbangsa untuk menjadi faktor integrasi atau persatuan. Problem dasar
HAM yaitu penghargaan terhadap martabat dan privasi warga negara
sebagai pribadi juga belum ditempatkan sebagaimana mestinya.Demikian
disampaikan Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM)
Marzuki Darusman da-lam diskusi yang diselenggarakan Forum Diskusi
Wartawan Politik (FDWP) di Wisma Surabaya Post Jakarta, Sabtu (23/8).
Dalam diskusi itu diperbincangkan masalah hak asasi, politik dan
demokrasi di Indonesia termasuk hubungan Komnas HAM dan pemerintah.
"Pelaksanaan HAM di kita masih maju mundur. Namun itu tidak menjadi
soal karena dalam proses," kata Marzuki. Padahal jika melihat sisi
historis, kata Marzuki, HAM di Indonesia beranjak dari amanat
penderitaan rakyat untuk mewujudkan kemerdekaan dari penjajah. Begitu
pula seperti tercermin dari Sila Kemanusiaan yang berpangkal dari
falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam diskusi dipersoalkan bagaimana sebenarnya posisi pemerintah
untuk melaksanakan HAM secara tulus. Menurut mantan anggota F-KP DPR
itu, di luar negeri bidang-bidang politik, ekonomi selalu dihubungkan
dengan masalah HAM. "Makanya mereka mau berisiko demi HAM ini. HAM
sudah menyatu," katanya.
Sedangkan di Indonesia, HAM baru merupakan satu kebijakan belum
merupakan bagian dari sendi-sendi dasar dari kehidupan berbangsa.
Marzuki mengatakan, sebenarnya HAM bisa menjadi faktor integrasi atau
pemersatu bangsa.
Marzuki menganalogikan pelaksanaan HAM di Indonesia dengan pemahaman
masyarakat terhadap lingkungan hidup 10-20 tahun lalu. Lingkungan
hidup yang saat itu masih menjadi isu internasional sekarang sudah
menjadi bagian tak terpisahkan dari masyarakat dan pemerintah.
"Saat ini, lingkungan hidup sudah menjadi kesadaran nasional,"
katanya. Masalah lingkungan hidup tidak hanya menjadi kebijakan
nasional namun sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan.
"Hal seperti itulah yang saat ini sedang ditempuh oleh HAM," katanya.
Konstelasi politik
Kondisi HAM di Indonesia menghadapi dua hal dinamis yang terjadi yaitu
realitas empiris di mana masyarakat semakin sadar HAM serta kondisi
politik.
Soal hubungan Komnas HAM dengan pemerintah, Marzuki mengatakan, bagian
terbesar dari rekomendasi Komnas HAM terutama kepada pemerintah
daerah/gubernur, 60 persen di antaranya mendapat respon yang
konstruktif. Persoalan muncul jika kasusnya bermuatan politik, seperti
Kasus Marsinah atau Kerusuhan 27 Juli. "Perlu ada pelurusan terhadap
gambaran masyarakat soal hu-bungan pemerintah dan Komnas HAM,"
katanya. Marzuki mendengar jika ada persepsi di masyarakat bahwa
rekomendasi Komnas HAM tidak dilaksanakan oleh pemerintah.
"Kondisi ideal HAM adalah kondisi demokratis," kata Marzuki. Kesadaran
akan HAM maupun pelaksanaannya hanya mungkin jika ada pembaharuan
politik.
Dalam beberapa persoalan Marzuki melihat sikap kalangan pemerintah
maupun ABRI terhadap masalah HAM tergantung konstelasi politik yang
terjadi, bukan pada pemahaman HAM sebenarnya. Misalnya komentar
tentang Kerusuhan 27 Juli, satu pihak mengatakan bahwa kasus tersebut
sudah selesai, namun yang lainnya mengatakan bahwa langkah-langkah
Megawati Soekarnoputri konstitusional.
Dia mengedepankan persoalan HAM di Indonesia dengan satu contoh yakni
penggunaan istilah yang berkonotasi politik terhadap seseorang yang
menyentuh martabat atau privasinya. Istilah gembong, oknum atau otak
terutama dalam kerangka kasus-kasus subversif menjadi biasa digunakan
oleh masyarakat menjadi sesuatu yang normal. "Padahal itu menyentuh
HAM, seseorang digambarkan dengan istilah-istilah," katanya.
Komnas HAM sebenarnya menganut prinsip HAM universal dengan dasar
Piagam PBB, Deklarasi HAM serta Pancasila sebagai falsafah politik dan
konsitusi UUD '45. "Paham HAM universal itu harus disesuaikan dengan
nilai budaya yang berlaku," katanya.
Namun kurangnya pemahaman HAM atau karena kepentingan politik
seringkali disebut-sebut "HAM di Indonesia sebagai HAM yang khas yang
berbeda dengan HAM universal". "Itu tidak benar. Tidak berarti kita
punya prinsip HAM sendiri," kata mantan Sekjen Pemuda ASEAN tersebut.
Yang benar, HAM universal justru harus diimplementasikan dalam
masyarakat dan peka terhadap nilai-nilai budaya setempat. "Coba cari
HAM khas Indonesia yang tidak ada di HAM universal. Tidak ada,"
katanya.
Marzuki menilai persoalan antara HAM universal dan HAM kultural malah
menjadi perdebatan semu. Padahal sebenarnya itu hanya merupakan
mekanisme defensif untuk menghadapi tekanan luar. (ush)
Sumber : Tunas 63 dan Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar